
Bagong mendirikan Pusat Latihan Tari (PLT) pada 5 Maret 1958 dan Padepokan Seni Bagong Kussudiardja
pada 2 Oktober 1978. Selama hidupnya, lebih dari 200 tari telah
diciptakan, dalam bentuk tunggal atau massal, diantaranya; tari
Layang-layang (1954), tari Satria Tangguh, dan Kebangkitan dan Kelahiran
Isa Almasih (1968), juga Bedaya Gendeng (1980-an).
Orang tua Bagong, RB Tjondro Sentono menikah dengan Siti Aminah, Dari
hasil perkawinan mereka, lahirlah Kus Sumarbirah, Bagong Kussudiardja, Handung Kussudyarsana,
dan terakhir Lilut Kussudyarto. Kakeknya, Gusti Djuminah konon adalah
putra mahkota Sultan HB VII yang karena membelot, terpaksa harus
menjalani hukuman kurantil (pengasingan).
Ia adalah ayah dari Butet Kertaradjasa dan Djaduk Ferianto.
Kakek enam cucu ini juga pelukis, bahkan termasuk perintis seni lukis
batik kontemporer. Ia juga pernah bermain film, antara lain dalam Kugapai Cintamu. Pada 1985, ia menerima Hadiah Seni Pemerintah RI, dan penghargaan Sri Paus Paulus VI atas fragmennya Perjalanan Yesus Kristus. Untuk lukisan abstraknya yang dipamerkan di Dacca, ia beroleh medali emas dari pemerintah Bangladesh pada 1980.
Pada Desember 1984, Bagong memulai perjalanan lima bulan ke tujuh negara Eropa.
Bersama 14 penari, ia mengadakan 69 kali kegiatan: pentas tari,
seminar, lokakarya, pameran batik, dan demonstrasi melukis batik. Pada
Hari Kebangkitan Nasional di Jakarta,
20 Mei 1985, ia mempertunjukkan Pawai Lintasan Sejarah Indonesia,
didukung 710 penari dan figuran. Sebulan kemudian, Bagong beserta 100
penari muncul di pesisir Parangtritis, 27 km di selatan Yogyakarta. Pentas tari kreasinya berjudul Kita Perlu Berpaling ke Alam dan Bersujud pada-Nya. Bulan berikutnya ia dengan 15 penari manggung di Malaysia, mementaskan tari Gema Nusantara, Igel-igelan, dan Ratu Kidul. Pada 5 Oktober 1985 di Jakarta, ia menampilkan Pawai Lintasan Sejarah ABRI yang melibatkan 8.000 seniman, militer, hansip, dan veteran.
Masa kecilnya yang sulit, kendati ia cucu G.P.H. Djuminah, kakak Sri Sultan Hamengkubuwono VIII,
membuat Bagong suka bekerja keras. Ayahnya, pelukis wayang dan penulis
aksara Jawa, kurang mampu menopang kehidupan keluarga. Bagong harus
melakoni berbagai pekerjaan seperti menambal ban dan jadi kusir andong.[1]
referensi :